Pendidikan Masa Pandemi Tambah Ruwet ?

Keadaan sekarang adanya pandemi covid 19 membuat hampir seluruh anak sekolah belajar dari rumah sejak pertengahan maret hingga sekarang. Transisi dari bulan juni saat ini ke bulan juli; sekolah, dinas pendidikan, pimpinan lembaga sekolah dan pengurus yayasan pendidikan seperti kebingungan. Bahkan bagi sekolah swasta, harus berfikir keras, karena hidup mereka sebagian besar ditopang oleh uang sekolah.

Sedangkan bagi orang tua yang anaknya bersekolah di swasta, menuntut ada potongan uang sekolah, pelayanan pendidikan yang dirasa kurang maksimal, dan setumpuk bahasan lainnya.

Webinar oleh orang yang katanya pakar dibahas banyak hal tentang pendidikan, teorinya melangit, implementasi secuprit. Mereka berbicara pembelajaran beralih ke daring menggunakan teknologi pun juga tidak terlepas dari bahasannya, seolah-olah mereka paling memahami dan menguasai.

Waduh, menurut saya ini kok jadi ruwet begini ya, selama ini mereka kemana saja?

Sebelum ada peristiwa pandemi ini, orang yang katanya pakar tadi sering berbicara industri 4.0, dengan teorinya segudang jurus presentasi dan makalah.

Sebenarnya, sejak mas nadiem makarim diangkat menjadi menteri pendidikan, saya sangat optimis, karena akan mendisrupsi banyak hal terkait pendidikan. Gebrakan awal beberapa program sudah diluncurkan. Merdeka belajar, mengganti ujian nasional menjadi assessment kompetensi, kampus merdeka, penggunaan dana bantuan operasional sekolah, adalah beberapa program kecil yang menurut saya dampaknya besar. Asal. Nah ada asalnya nih, guru, kepala sekolah, pengurus yayasan dan dinas terkait memiliki awarness, sevisi dan yang jauh lebih penting memiliki integritas. Nggak korupsi.

Cerita sedikit ya. Pengalaman saya menghandel sekolah di beberapa daerah, malah lebih kompleks, belum lagi adanya perkumpulan guru dan kepala sekolah yang masih mengadakan ujian tes atau tryout bersama-sama dengan dalih agar memiliki standar, yang ujung-ujungnya juga duit karena harus membayar. Kalau tidak diancam tidak mendapat informasi kedinasan.

Belum lagi yang ribut pemenuhan jumlah jam dan tugas tambahan sebagai syarat pengajuan tunjangan profesi. Nah ini menarik. Berikutnya saya juga menunggu kebijakan akreditasi dan tunjangan profesi. Karena menurut saya, sampai saat ini kebijakan tersebut belum dapat mendongkrak kualitas pendidikan, sekolah berebut mencari status akreditasi, lembur mengumpulkan berkas setumpuk-tumpuk yang isinya banyak copy paste.

Guru, kepala sekolah, dan dosen, mereka terlalu lama dielukan dengan tunjangan profesi yang hasilnya; peringkat pisa indonesia sepuluh besar dari bawah. Sudah berapa puluh tahun berjalan bos, masih dipertahankan aja. Ada yang panas telinganya mendengar cerita tadi, atau bahkan  ada yang tergugah untuk membuktikan menjadi lebih baik?

Oke. Saya mencoba melihat solusi dari sudut pandang yang lain.

Ingat sama bapak pendidikan kita ki hajar dewantara? Beliau pernah mengatakan semua orang tua adalah guru dan semua rumah adalah sekolah.

Pernyataan tadi sangat mengisaratkan kita bahwa yang namanya pendidikan tidak terpaku hanya pada guru di sekolah. Sekolah bukanlah dewa yang bisa menjamin keilmuan dan kecerdasan seseorang. Pendidikan sangatlah luas tak terbatas oleh ruang dan waktu. Apalagi jaman sekarang akses informasi sangat terbuka, saling terhubung satu sama lain. Kita tinggal memasukkan keyword yang ingin kita tahu, langsung muncul berbagai informasi dari berbagai sumber.

Inilah yang menjadi tantangan pendidik. Guru jangan geer lho ya, karena semua orang juga pendidik. Kita jangan hanya bergantung pada sekolahan, apalagi sekolah yang mengutamakan nilai-nilai ujian bersifat teks. Guru seolah-olah merasa sebagai satu-satunya informasi yang anti kritik. Sekali dikritik dianggap melawan. Hati-hati bagi orang tua dan anak dalam memilih sekolah.

Pendidikan seharusnya melibatkan orang tua, guru, kehidupan alam, iptek, sehingga yang namanya belajar mulai dari ayunan hingga liang kubur tanpa jeda, karena pendidikan harus mampu menggaransi dari ayunan sampai liang kubur. Lincah, tangkas, tahu cara baru, taktis, adaptif, sehingga mampu menjaga kontiunitas pembelajaran tetap berjalan dalam segala situasi dalam cobaan kehidupan. Sehingga ada garansi pendidikan walau ada wabah, dan malapetaka. Karena kita tidak diizinkan untuk berhenti mendidik dan belajar.

Gerakan home education menjadi pilihan utama untuk mulai kesadaran mendidik anak, karena pendidik utama adalah orangtua bukan sekolah. Dalam home education yg dididik adalah karakter oleh orangtuanya sendiri, bukan semata mengejar akademis

Jangan didik anak kita dengan ketakutan, jangan sembunyikan anak kita dari masalah, dan dari wabah. Justru jadikan momen ini diskusi sehingga lahir ide brilian

Bagaimana jika kita tidak punya kurikulum?

Cukuplah kehidupan menjadi kurikulum menjadi sumber belajar 

Bagaimana menilai dan evaluasi? Penilaian ga selalu test tertulis, dan jangan terjebak pada pakem pakem. Libatkan semua panca indra, melalui observasi, praktek, eksperimen, portofolio, dan project based. Mereka akan lebih mendapatkan pengalaman belajar secara kontekstual dan lebih autentik. Yakinlah pengalaman belajar tersebut, yang akan dibutuhkan dalam kehidupan masa depan kelak.